Pakar UI Mengungkap Sisi Terang Dan Gelap ChatGPT Ke Dunia Pendidikan
Chatbot ChatGPT menuai kontroversi, terutama di kalangan akademisi dan pendidikan. Beberapa orang khawatir siswa menyontek menggunakan alat AI ini.
Harkristuti Harkrisnowo, Presiden Dewan Fakultas Universitas Indonesia (DGB UI), mengatakan AI dikembangkan terutama untuk meningkatkan kualitas hidup manusia karena memiliki kekuatan transformatif yang luar biasa.
Mulai dari aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebijakan publik, tata kelola, dan lainnya.
Dalam webinar berjudul Ethics of Using ChatGPT in Academic Setting, Harchristotti mengatakan, “Namun, seperti hal baru di dunia ini, ternyata selain membawa kebaruan dan manfaat, AI juga membuka jendela ke masalah yang berpotensi meresahkan.” dikatakan.
Dilansir dari pdscustom.com ChatGPT adalah produk kecerdasan buatan yang dibuat untuk memuaskan keingintahuan manusia tentang segala hal.
Dalam bidang pendidikan, para ahli menilai siswa dan kemampuan mereka dalam menulis soal ujian dalam bidang ilmu apapun, dan dapat digunakan untuk menulis esai hanya dengan memasukkan kata kunci tertentu.
Namun, menurut pakar UI, fungsionalitas ChatGPT yang sangat tinggi membuka peluang fenomena paralel atau dua sisi mata uang yang sama.
Sisi baiknya, teknologi AI ini memiliki kemampuan luar biasa bagi siswa di dunia pendidikan. Namun, sisi lain dari keterbatasan teknis, persoalan etika, bahkan keterbatasan kemanusiaan akan terungkap.
Guru Besar Fakultas Ilmu Komputer UI Dr. Dari segi manfaat, Heru Suhartanto mengatakan ada sekitar 80 cara menggunakan ChatGPT di kelas dengan kekuatan, kecepatan, dan ketepatan dalam memberikan informasi.
Ketua Panitia Webinar Dr. Riri Fitri Sari yang mengatakan bahwa ChatGPT dapat digunakan untuk menghasilkan teks berkualitas tinggi melalui konsep dari Reimagine Education.
“Hal ini karena ChatGPT dapat menjawab pertanyaan dengan akurasi tinggi dan mengambil informasi dari sumber eksternal seperti Wikipedia,” kata Riri.
Riri juga mengatakan bahwa ChatGPT dapat menerjemahkan teks dari satu bahasa ke bahasa lain dengan sangat akurat, dan dapat melengkapi teks yang tidak lengkap menggunakan konteks dan informasi yang disediakan.
Namun, disinformasi, disinformasi, dan misinformasi adalah sisi gelap ChatGPT yang harus diperhatikan karena memengaruhi masalah hukum dan etika. Isu hukum multilevel juga teridentifikasi pada level kebijakan global dan nasional.
Menurut para ahli, beberapa efek negatif dari penggunaan ChatGPT adalah karena data yang diambil dari internet tidak sempurna, tidak 100% akurat. Cacat ini bisa jadi karena kurangnya konteks.
Padahal dia pintar menurut Prof. Vasilkom UI. Wisnu Jatmiko, ChatGPT masih bisa salah mengartikan konteks dan menghasilkan output yang salah.
Penggunaan ChatGPT yang tidak tepat juga berisiko merusak pemikiran kritis siswa. Namun menurut Wisnu, salah satu hal yang paling berharga yang bisa dikembangkan siswa adalah berpikir kritis.
“Jika jawaban atas semua pertanyaan mereka selalu ada di ujung jari mereka, mereka tidak akan merasa perlu untuk berpikir sendiri,” kata Wisnow.
“Misalnya, ketika seorang mahasiswa meminta ChatGPT untuk menulis artikel, itu bukan hanya kurangnya pemikiran orisinal, tetapi juga merupakan bentuk plagiarisme,” tambahnya.
Oleh karena itu, Fuad Jani, Instruktur UI di Fakultas Ilmu Budaya dan Ilmu Pengetahuan (FIB), mengatakan perlunya kepintaran dalam menggunakan ChatGPT.
Menurut Jani, perguruan tinggi harus terus berupaya menghasilkan lulusan yang siap menghadapi tantangan masa depan karena tidak lepas dari persaingan masa depan, terutama dalam hal keterampilan.
“Penggunaan kecerdasan buatan harus dan akan terus dianut oleh perguruan tinggi. Alat kecerdasan buatan akan terus berkembang dan menjadi semakin penting di berbagai bidang,” ujar Jani.
“Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu memberikan pedoman yang fleksibel dan luas karena teknologi AI akan terus berkembang pesat,” pungkasnya.
Dalam webinar tersebut, Dekan UI juga menilai bahwa proses pembelajaran yang melatih kemampuan menulis dan argumentasi tidak akan tergantikan oleh teknologi.
Oleh karena itu perlu ditekankan pentingnya berpikir tingkat tinggi, terutama dalam hal kecerdasan manusia yang tidak dapat digantikan oleh teknologi.